A’ambuwa Ungala’a


Gorontalo, Juli 2011

Akhir pekan, malam hari, kami tiba didepan lokasi acara tempat seorang kenalan melaksanakan pesta resepsi pernikahannya. Acara bertempat dirumah pengantin wanita, saya pun menunggu teman-teman yang memarkir kendaraan di area yang sudah disediakan, di pekarangan rumah tetangga yang punya hajatan tepatnya. Selesai memarkir, kamipun masuk bersama di sambut oleh penyambut tamu disisi rangkaian janur yang terpasang didepan pintu masuk halaman rumah. Kamipun langsung disapa oleh rekan kami, sang tuan rumah, sejatinya adik dari si pengantin, ialah yang mengundang kami ke pesta pernikahannya kakaknya.
Mengambil tempat didalam rumah, kami mengikuti prosesi resepsi sampai selesai. Sekilas memang tampak biasa saja, tak ada perbedaan yang kami rasakan dengan menghadiri acara digedung tempat biasa diadakan pesta. Seperti acara pernikahan Gorontalo pada umumnya, setelah mempelai masuk dan duduk di puade, acara dimulai dengan sambutan keluarga, nasihat perkawinan bagi kedua pengantin, sekadar wejangan buat yang baru  akan memulai mengarungi bahtera rumah tangga, di lanjutkan dengan istirahat, diisi dengan acara makan dan hiburan lagu diiringi organ. Lalu doapun dilantunkan seorang tokoh agama yang dituakan dilingkungan itu, untuk kebahagiaan pengantin. Sesi pemotretan kemudian menutup agenda acara pada malam itu, kamipun diundang untuk foto bersama.
Nah, pada sesi terakhir inilah saya baru sadar ada sesuatu yang berbeda, bahkan dari awal acara hal itu tidak saya perhatikan. Silaturrahim, kekerabatan pada malam itu, di hajatan itu, lebih terasa ketimbang pesta pernikahan, ataupun hajatan lain yang diadakan di gedung-gedung mewah. Budaya huyula, persaudaraan sangat tampak ketika hadirin berjabatan tangan memberi selamat kedua mempelai serta berfoto bersama. Misalnya saja, tetamu yang menghadiri hajatan di wisma pernikahan entah kenapa cenderung lebih kalem, kalau tidak mau di katakan diam tak bersahabat, keadaan jadi kaku. Boleh dikata, sebuah seminar pun terasa lebih “hidup” ketimbang acara yang bukan hanya syarat kesakralan tapi juga keakraban (dulohupa). Namun sebagaimana budaya mestinya diperlakukan, di Gorontalo sebaliknya menjadi hal yang terkesan dilupakan dan ditinggalkan, tergerus budaya ekspatriat dan meninggikan eksistensi sebagai wa’u, ke-akuan, bukan amiyatiya (kami bersama).
Anggapan demikian timbul dikarenakan orang kampung, tetangga, yang berada disekitar lingkungan itu, berbondong datang ke pesta, tanpa ada kesenjangan, perasaan minder, was-was harus berpakaian, berpenampilan seperti ini-itu jika pagelaran di wisma tak perlu ada, yang penting rapi dan sopan. Kesan a’ambuwa ungala’a  bersahaja yang didapat dari acara tersebut sungguh sangat sesuai dengan kalimat yang dalam bahasa Hulondhalo,…”Dulo ito mo topiwasu de Eya”.Memaknai arti hajatan; yakni syukuran lewat berbagi kebahagiaan, tanda terima kasih kepada Allah swt., atas segala nikmat yang diberikan, tanpa harus merenggangkan tali persaudaraan. Saya hanya menimbang suasana yang jarang di alami bahkan seringkali kami rindukan. Kami, yang katanya generasi global dan nitro, apapun itu, sebenarnya punya bekal budaya seperti ini sebagai tameng menangkal efek buruk pergeseran nilai dikarenakan perubahan zaman.
'Alaa Kulli haal, ini adalah argumen pribadi saja, apa yang penting dari semua adalah keberkahan. Semoga.
-Puade : singgasana tempat duduk memepelai di nikahan Gorontalo
-Hulondhalo:Gorontalo
-Mohuyula:Saling membantu dalam persatuan
-Dulohupa: Keakraban, bertemu
_ A’ambuwa ungala’a: bertemunya kerabat dekat dan jauh
-Wa’u: Aku
-”Dulo ito mo topiwasu de Eya”: “Mari berterimakasih kepada Tuhan”


Comments

Popular Posts