A’ambuwa Ungala’a
Akhir pekan, malam hari, kami
tiba didepan lokasi acara tempat seorang kenalan melaksanakan pesta resepsi
pernikahannya. Acara bertempat dirumah pengantin wanita, saya pun menunggu
teman-teman yang memarkir kendaraan di area yang sudah disediakan, di
pekarangan rumah tetangga yang punya hajatan tepatnya. Selesai memarkir,
kamipun masuk bersama di sambut oleh penyambut tamu disisi rangkaian janur yang
terpasang didepan pintu masuk halaman rumah. Kamipun langsung disapa oleh rekan
kami, sang tuan rumah, sejatinya adik dari si pengantin, ialah yang mengundang
kami ke pesta pernikahannya kakaknya.
Mengambil tempat didalam
rumah, kami mengikuti prosesi resepsi sampai selesai. Sekilas memang tampak
biasa saja, tak ada perbedaan yang kami rasakan dengan menghadiri acara
digedung tempat biasa diadakan pesta. Seperti acara pernikahan Gorontalo pada
umumnya, setelah mempelai masuk dan duduk di puade, acara dimulai
dengan sambutan keluarga, nasihat perkawinan bagi kedua pengantin, sekadar
wejangan buat yang baru akan memulai
mengarungi bahtera rumah tangga, di lanjutkan dengan istirahat, diisi dengan
acara makan dan hiburan lagu diiringi organ.
Lalu doapun dilantunkan seorang tokoh agama yang dituakan dilingkungan itu,
untuk kebahagiaan pengantin. Sesi pemotretan kemudian menutup agenda acara pada
malam itu, kamipun diundang untuk foto bersama.
Nah, pada sesi terakhir inilah
saya baru sadar ada sesuatu
yang berbeda, bahkan dari awal acara hal itu tidak saya perhatikan. Silaturrahim, kekerabatan pada malam itu, di hajatan itu, lebih terasa
ketimbang pesta pernikahan, ataupun hajatan lain yang diadakan di gedung-gedung
mewah. Budaya huyula, persaudaraan
sangat tampak ketika hadirin berjabatan tangan memberi selamat kedua mempelai
serta berfoto bersama. Misalnya saja, tetamu yang menghadiri hajatan di
wisma pernikahan entah kenapa cenderung lebih kalem, kalau tidak mau di katakan
diam tak bersahabat, keadaan jadi kaku. Boleh dikata, sebuah seminar pun terasa
lebih “hidup” ketimbang acara yang bukan hanya syarat kesakralan tapi juga
keakraban (dulohupa). Namun
sebagaimana budaya mestinya diperlakukan, di Gorontalo sebaliknya menjadi hal
yang terkesan dilupakan dan ditinggalkan, tergerus budaya ekspatriat dan
meninggikan eksistensi sebagai wa’u, ke-akuan, bukan amiyatiya (kami bersama).
Anggapan demikian timbul
dikarenakan orang kampung, tetangga,
yang berada disekitar lingkungan itu, berbondong datang ke pesta, tanpa ada
kesenjangan, perasaan minder,
was-was harus berpakaian, berpenampilan seperti ini-itu jika pagelaran di wisma tak perlu ada, yang penting rapi dan sopan.
Kesan a’ambuwa ungala’a bersahaja
yang didapat dari acara tersebut sungguh sangat sesuai dengan kalimat yang dalam bahasa Hulondhalo,…”Dulo ito
mo topiwasu de Eya”.Memaknai arti hajatan; yakni syukuran lewat berbagi kebahagiaan, tanda terima kasih kepada Allah swt., atas segala nikmat
yang diberikan, tanpa harus merenggangkan tali persaudaraan. Saya hanya
menimbang suasana yang jarang di alami bahkan seringkali kami rindukan. Kami,
yang katanya generasi global dan nitro, apapun itu, sebenarnya punya bekal
budaya seperti ini sebagai tameng menangkal efek buruk pergeseran nilai
dikarenakan perubahan zaman.
'Alaa Kulli haal, ini adalah argumen pribadi saja, apa yang penting dari semua adalah keberkahan. Semoga.
-Puade :
singgasana tempat duduk memepelai di nikahan Gorontalo
-Hulondhalo:Gorontalo
-Mohuyula:Saling membantu dalam persatuan
-Dulohupa: Keakraban, bertemu
_ A’ambuwa ungala’a:
bertemunya kerabat dekat dan jauh
-Wa’u: Aku
-”Dulo
ito mo topiwasu de Eya”: “Mari berterimakasih kepada Tuhan”


Comments
Post a Comment