Permainan & Dunia Anak; “Namanya juga permainan, ……”
Artikel ini pernah terbit di Jurnal Tanggomo edisi 4
Permainan, di kaitkan dengan manusia dan jenjang umur, selalu
tertuju pada hal yang identik dengan anak-anak; belum baligh; fase
sebelum remaja. Dunia anak tanpa diisi dengan berbagai permainan
tidaklah lengkap, kata orang Gorontalo bagai kue Bageya tanpa
teh, akan terasa hambar. Dari sini mafhum lah bahwa permainan, bermain
dengan permainan, sungguh merupakan kebutuhan seorang anak layaknya
orang dewasa memprioritaskan sesuatu seperti olahraga, kendaraan, atau
bahkan kacamata. Bukan hanya sekedar perilaku “bermain-main”, atau pun
yang seringkali kita sederhanakan dengan mengatakan; “namanya juga
anak-anak…”. Ini sifatnya kodrati.
Lumrah memang, anak dengan dunianya, tanpa disadari menganggap
permainan memiliki arti besar sebagai alat pelengkap kasih sayang orang
tua. Tetapi juga tak boleh disepelekan; permainan bagi anak-anak
mempunyai hubungan erat dengan kasih sayang orang tua terhadap si anak.
Orang tua yang membelikan mainan maupun mengizinkan anak mereka bermain
dengan kawan-kawan, berarti menghadiahi anak mereka sebuah bentuk
kasih, meski hadiah kebendaan tidak cukup mewakili makna kasih sayang
yang begitu luas, namun sang anak akan merasa bangga jika tahu dirinya
di sayangi.
Poin yang tidak kalah penting untuk dipahami ialah sifat setiap permainan yang dimainkan oleh anak mengandung entertainment, hiburan. Dimana rasa yang diciptakan oleh permainan itu, contoh: permainan rakyat petak umpet, di Gorontalo dikenal cur-cur pal, gundu (kenikir), layang-layang (alanggaya)
serta lainnya, tiada lain untuk memenuhi kepuasan batin mereka, yakni
keseruan dan keriangan yang tak terhingga. Sehingga tak perlu muncul
anekdot dalam masyarakat , “masa kecil yang kurang bahagia”, bagi orang
dewasa.
Selanjutnya, jika anak sudah mencapai esensi rasa dari permainan
tersebut, maka hasil akhir permainan; kalah-menang, bagi anak, sudah
bukan masalah lagi, mereka bisa menempatkan permainan dalam konteks yang
sebenarnya;“namanya juga permainan…”. Karenanya, anak-anak akan belajar
perspektif pertemanan, dalam ranah keadilan (fair play), tanggung jawab, dan saling tenggang rasa, nilai-nilai
yang belum tentu bisa didapatkan dengan sekadar membaca/ menghafal isi
pelajaran formal. Sekiranya item ini yang sering digaungkan menyoal
pendidikan berkarakter yang sedang diusung dunia edukasi kita
akhir-akhir ini.
Setelah mengetahui refleksi tersebut diatas, patutlah kemudian kita
menyematkan permainan bagi dunia seorang anak adalah cara jitu bagi
orang tua untuk mencintai, memahami, sekaligus mendidik anaknya. Pada
akhirnya artikel singkat ini dapat kita tarik kesimpulan terhadap
hubungan permainan dengan dunia seorang anak; mengizinkan mereka bermain
bukanlah membiarkan mereka berleha dengan hidup, mengabaikan pentingnya
keseriusan dalam meraih asa di esok hari, tapi justru mengenalkan
mereka kepada media yang selalu menyediakan ilustrasi positif agar
senantiasa terbiasa berbagi dengan sesama. Semoga.
Sumber: Gunarsa, Singgih. 1995. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, Wauran. M.H. 1977. Pendidikan anak sebelum sekolah. Bandung: Indonesia Publishing House.
Sumber: Gunarsa, Singgih. 1995. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, Wauran. M.H. 1977. Pendidikan anak sebelum sekolah. Bandung: Indonesia Publishing House.


Comments
Post a Comment